Di bawah sinar rembulan yang menggantung pucat di langit malam, seorang wanita berdiri diam di tengah hutan tua. Gaunnya compang-camping, terbentuk dari kain kabut dan debu tanah, nyaris menyatu dengan alam. Tubuhnya dilingkari oleh ular-ular yang melata perlahan, menyusuri kulitnya seperti desir angin yang penuh bisikan. Ular-ular itu hitam, keperakan, dan hijau zamrud, menyatu seperti anyaman hidup yang membentuk mahkota dan kerudung di tubuhnya. Mereka tidak menyakitinya, mereka melindungi, menyembunyikan, bahkan menyatu dengan napasnya.
Akar-akar pohon menjulang dari tanah, menjalar naik seperti tangan-tangan tua yang ingin menyentuhnya. Beberapa melingkari pergelangan kakinya, membelit seperti gelang purba, seolah mengakarinya pada dunia yang sudah lama terlupakan manusia. Akar dan ular saling bertaut, membentuk jalinan antara alam dan makhluk yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Cahaya bulan menari di kulitnya yang pucat dan berkilau, seolah memandikannya dalam cahaya suci atau kutukan yang agung. Matanya kosong namun dalam, mencerminkan sesuatu yang lebih tua dari waktu. Ia tidak tampak sebagai manusia biasa lebih menyerupai roh penjaga hutan, dewi malam, atau jiwa yang terlahir kembali dari luka bumi.
Tak ada suara, hanya desis ular dan detak akar yang perlahan tumbuh, menyatu dalam irama sunyi. Dan di sanalah dia sang wanita rembulan, tubuhnya dibungkus makhluk melata dan akar bumi, berdiri di antara batas hidup dan legenda.
No comments:
Post a Comment